MALU DALAM ISLAM




Salah satu yang membedakan manusia dengan makhluk lain seperti hewan terletak pada rasa malu, kalaulah hewan punya rasa malu tentu ia akan memakai gaun yang indah dan menutup auratnya. Beda dengan manusia, ia punya rasa malu tinggi, bila berlaku sebagaimana hewan maka tidak beda dengan jenis ini.

Seorang teman, sedang memamerkan foto bersama sang kekasihnya di laman Facebook dan jejaring sosial. Foto-fotonya yang nampak mesra ditampilkan begitu sangat terbuka dan bisa dilihat atau diakses pihak lain. “Aku jika punya pacar selalu aku publish, “ujarnya suatu saat ditanya alasannya. Padahal, mereka belum terikat sebagai pasangan yang sah. Seolah rasa malu sudah tidak ada pada dirinya.

Rasulullah saw bersabda “Hendaklah kalian malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu. Barang-siapa yang malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya, hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan hendaklah ia selalu ingat kematian dan busuknya jasad. Barangsiapa yang menginginkan kehidupan akhirat hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang mengerjakan yang demikian, maka sungguh ia telah malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu.” [Hasan: HR.at-Tirmidzi (no. 2458), Ahmad (I/ 387), al-Hâkim (IV/323), dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 4033).

Di akhir zaman seperti ini, istilah malu mungkin hanya slogan. Orang yang masih mempunyai rasa malu mungkin sangat langka. Yang ada justru sebaliknya. Yang dapat kita jumpai nyaris di semua lapisan sosial, baik, individu, keluarga, masyarakat atau institusi sosial atau dalam hidup bernegara.

Makna malu adalah mencegah dari melakukan segala sesuatu yang tercela, maka sesungguhnya mempunyai malu, pada dasarnya, seruan untuk mencegah segala maksiat dan kejahatan. Rasa malu adalah ciri khas kebaikan, yang senantiasa diinginkan oleh manusia. Mereka melihat bahwa tidak mempunyai rasa malu adalah aib. Rasa malu adalah bagian dari kesempurnaan iman. “Malu adalah bagian dari keimanan”, dan dalam hadist lainnya “Rasa malu selalu mendatangkan kebaikan”. .

Imam Ahmad dan Tirmidzi meriwayatkan secara marfu’, bahwa Ibnu Mas’ud, “Merasa malu kepada Allah adalah dengan menjaga kepala dan apa yang dipikirkannya, perut dan apa yang ada didalamnya, dan selalu mengingat mati dan cobaan. Barangsiapa yang menghendaki akhirat, maka akan meninggalkan perhiasan dunia. Dan siapapun yang melakukan hal itu dia telah mempunyai rasa malu kepada Allah”.

Jika dalam diri manusia tidak ada lagi rasa malu, baik yang bersifat bawaan atau yang diusahakan, maka tidak ada lagi yang menghalangi untuk melakukan perbuatan keji dan hina. Bahkan menjadi seperti orang yang tidak mempunyai keimanan sama sekali, sehingga tidak berbeda degan golongan syetan.

Kita harus menempatkan rasa malu itu pada tempatnya yang benar agar tidak salah kaprah, apakah dapat dikatakan malu orang yang tidak mau melakukan kebaikan sebab disindir sebagai orang yang shaleh, apakah dapat dikatakan malu kalau menyampaikan kebenaran sebab mendengar ocehan orang yang menyatakan dan memanggilnya ustadz, inilah sebuah godaan dari lingkungan manusia untuk menciutkan semangat orang yang berbuat baik.

Komentar